Aku
dan mas Faris bertemu di Osaka saat kami sama-sama pergi ke akuarium. Saat itu
hari sedang hujan, dan kebetulan kami sama-sama tidak membawa payung. Akhirnya
kami berkenalan, tapi tidak kusangka pertemuan itu akan berjalan sejauh ini.
Saat
kami menikah sebenarnya aku ingin kami memiliki rumah sendiri, tapi ternyata
Alloh belum mengizinkan. Ibu mertuaku sangat menyayangi Mas Faris, beliau
meminta kami tinggal bersamanya. Setelah beberapa kali mempertimbangkan,
kamipun menuruti keinginan ibu. Terbesit sedikit rasa takut, tapi aku berusaha
membuat diriku yakin bahwa ibu mertua adalah pembela bagi menantunya. Ingsya
Allah.
Mas
Faris adalah anak pertama dari dua bersaudara, dia memiliki adik laki-laki yang
tidak lain adalah adik iparku sendiri, Farhan yang sekarang menempuh pendidikan
di Sebuah Universitas swasta di Jakarta. Mas Faris adalah kebanggaan keluarga,
terlebih saat ayahnya meninggal Mas Farislah yang menjadi tulang punggung
keluarganya.
Mas
Faris tidak mengizinkan aku bekerja. Aku hanya bertugas mengurus rumah dan
menjaga Ibu. Di sela-sela pekerjaannya, Mas Faris selalu meluangkan waktu
dhuhur untuk sholat berjamaah denganku dan makan siang di rumah.
Tahun
pertama pernikahan kami, semuanya terasa baik. Tapi semenjak hari itu aku
menjadi pendiam dan pemurung. Siang itu Mas Faris pulang dari kantor, saat aku
membukakan pintu untuknya kudapati dia bersama seorang wanita. Sedikit kaget
tapi kufikir itu hanya teman kerjanya
“Eh..Nak Farida, Ayo silahkan masuk nak” Kata Ibu dari belakang. Ternyata Ibu sudah
mengenal wanita itu. Beliau juga mengenalkan wanita itu padaku, dia adalah anak
teman Ibu yang juga bekerja satu kantor dengan Mas Faris. Ibu mengundang Farida
makan siang di rumah bersama kami.
Selepas
sholat dhuhur, Mas Faris kembali ke kantor bersama Farida. Terbesit sedikit
rasa khawatir melihat mereka berada di satu mobil. Aku segera merapikan meja
makan agar fikiranku tidak diisi oleh prasangka yang buruk pada mereka.
“Nak
Farida tadi cantik ya Ir” Kata Ibu. Beliau menceritakan tentang Farida, semua
tentang Farida. Sampai-sampai aku berfikir kalau Ibu bermaksud membandingkanku
dengan Farida. Dia bekerja sementara aku tidak, dia cantik dengan make upnya
yang sempurna, sementara aku memakai lipstikpun tidak.
“Ir,
kata tetangga sebelah setelah pergi ke Mbah Minten, menantunya langsung isi
lho” Kata Ibu.
“Astaghfirulloh
Ibu, mbah minten itu paranormal. Minta tolong padanya sama dengan syirik buk
dan Alloh tidak akan mengampuni dosa syirik” Jawabku. Aku teringat sebuah ayat
yang kubaca kemarin.
Allah
tidak akan mengampuni dosa syirik (mempersekutukan Allah dengan sesuatu), dan
Dia mengampuni dosa selain itu bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan barangsiapa
mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sungguh dia telah tersesat jauh
sekali. (QS. An Nisa’: 116)
“Halah,
Sirik apa. Ibu juga sholat dan puasa. Lagipula kamu sudah berkali-kali ke
dokter, mana hasilnya” Kalimat ibu membuatku merinding.
Tiga
tahun pernikahanku dengan Mas Faris, kami belum dikaruniai anak. Terkadang aku kesepian,
meskipun sudah ada Ibu di rumah. Mungkin itulah sebabnya ibu sampai berfikir
sejauh ini.
Sudah
beberapa kali aku dan Mas Faris pergi ke dokter untuk berkonsultasi. Aku juga
sudah minum beberapa obat hormonal saran dokter, jamu, sampai herbal. Aku juga
berusaha menyukai kecambah yang sebenarnya membuatku sangat mual. Kami sudah
berikhtiar semampu kami, tapi sampai detik ini kami masih harus bersabar.
“Kami
sudah berusaha bu, mungkin Alloh belum mengizinkan” Aku tertunduk.
“Kalau
begitu biarkan Faris menikah lagi” Kata-kata ibu membuat hatiku seakan runtuh.
Aku
tak kuasa menahan air mataku, aku tidak bisa membayangkan tinggal satu atap
dengan istri baru Mas Faris. Betapa tragisnya aku, saat mereka sibuk
mempersiapkan pernikahan mereka. Terlebih jika istri Mas Faris nanti lebih dulu
memberikan cucu pada Ibu, aku akan menjadi orang asing di keluarga ini.
888
Sejak
kejadian itu hubunganku dengan ibu makin renggang. Setiap apa yang kulakukan di
rumah, selalu dikaitkan dengan anak. Ibu juga semakin sering mengundang Farida
makan siang di rumah. Perasaan senang
ketika Mas Faris pulang, kini berganti menjadi perasaan khawatir.
Aku
memandangi wajahku di cermin, pucat. Aku mulai memoleskan lipstik, eye shadow,
dan blush on di pipiku agar ketika Mas Faris pulang nanti, aku tidak terlihat
lesu dan dia akan senang melihatku.
“Kamu
mau kemana?” Tanya Ibu ketika aku keluar kamar.
“Ehm,
tidak kemana-mana bu” Jawabku
“Menor
sekali, seharusnya kamu bisa seperti Farida” Kata Ibu.
Deg!
Tanpa
sadar air mataku menetes, ibu menunjukkan sikap condongnya pada Farida. Mungkin
Ibu menginginkan sosok menantu seperti Farida. Fikiranku semakin tidak karuan.
Aku selalu mengkhawatirkan Mas Faris yang setiap hari bertemu Farida di kantor.
Aku berusaha menyingkirkan perasangka negatif ini, tapi semakin aku berusaha,
bayangan Farida semakin jelas di fikiranku.
Aku
mencoba mengalihkan perhatianku dengan membaca buku-buku tafsir, membaca
Al-Qur’an, membaca ensiklopedi islam, hingga buku tentang kiat-kiat cepat
memiliki anak sambil menunggu suamiku pulang kerja.
“Dek,
Kamu pakai make up?” Tanya Mas Faris sambil tertawa kecil saat aku menyodorkan
handuk hangat padanya. Aku lupa menghapus make upku tadi siang.
“Ah..iya”
Aku segera menghapus make upku dengan lengan
daster yang kupakai.
“Jangan
di hapus dulu” Mas Faris memegang tanganku. “Kamu cantik sayang” kalimat Mas
Faris membuatku melambung. Mas Faris memegang kepalaku dan menghadapkannya ke cermin. Dia mencium ubun-ubunku
dengan lembut seperti saat malam pertama pernikahan kami. Aku tersipu.
“Tapi
aku lebih suka kalau tanpa make up, kamu bilang jerawatan kalau pakai bedak”
Mas Faris memegang kedua alisku. Memencet jerawat di dahiku yang entah sejak
kapan muncul.
“Anna ukhibbuki Fillah, Ya Khumaira. Bukan
hanya karena kamu cantik” Kalimat Mas Faris benar-benar ampuh membuat pipiku
semerah udang rebus. Istri mana yang tidak senang jika dipanggil dengan
panggilan sayang baginda Rosululloh kepada istrinya ‘Aisyah.
Malam
itu Mas Faris mengajakku jalan-jalan di sekitar komplek. Kami biasa jalan-jalan
malam untuk berbicara dari hati ke hati.
“Mas,
Apa Mas bahagia bersama Irma?” Tanyaku.
“Kenapa
tiba-tiba bilang begitu? Apa ada yang mengusikmu” Kata Mas Faris.
Kami
duduk di taman. Menikmati indahnya bintang dan lampu taman. Aku bersandar di bahu
Mas Faris, tanpa kusadari air mataku menetes di jaket tebalnya.
“Aku
sangat menyayangimu mas, aku ingin menjadi wanita yang sempurna untukmu. Aku
takut kehilanganmu mas. Tapi aku juga tidak bisa egois padamu, pada Ibu. Ibu
sangat ingin memiliki Faris dan Irma kecil, tapi aku belum bisa memenuhinya.
Aku juga ingin dipanggil Umi, dan kamu juga ingin di panggil Abi kan mas? Lagi
pula salah satu tujuan pernikahan kan untuk memperbanyak keturunan,
memperbanyak muslimin dan muslimah, dan sampai sekarang kita belum mencapai
tujuan itu” Kataku sambil menangis. Mas Faris memelukku.
“Dek,
badanmu panas sekali” Dia memegang dahiku. Badanku lemas lalu semuanya gelap.
888
Saat
bangun hari sudah pagi, aku berada di ruangan putih dengan selang infus
menancap di tanganku. Kulihat Mas Faris tidur terduduk di kursi. Wajahnya
terlihat lelah. Aku beranjak dari tidur, menyelimutinya dengan selimut. Aku
duduk disampingnya.
“Dek
kamu kok di sini” Dia terbangun, aku hanya tersenyum.
“Aku
sakit apa mas?” Tanyaku.
“Nggak
sakit apa-apa dek, akulah yang sakit. Kemarin Farhan menyuruhku pergi ke
dokter. Kata dokter cairan semenku abnormal. Aku menyesal baru tahu sekarang. Aku
terlalu sibuk dengan pekerjaanku hingga tidak tahu apa yang kamu rasakan di
rumah. Maafkan aku membuatmu tertekan, dan sakit seperti ini dek. Maafkan aku
dek” kata Mas Faris. Perasaanku campur aduk, hingga tidak bisa berkata apa-apa.
Air mataku lebih bisa mengungkapkan perasaanku.
“Maafin
Ibu juga ya Nak” Ibu muncul dari belakangku. Beliau memelukku.
“Ibu
terlalu memaksakan kehendak ibu tanpa
memikirkan perasaanmu. Ibu juga minta maaf karena mengajakmu ke Mbah Minten,
seharusnya Ibu bersyukur punya menantu yang bisa mengingatkan Ibu. Maafkan
perkataan Ibu saat itu nak” Air mataku semakin deras. Aku senang tapi juga
marah. Akhirnya kuputuskan untuk memaafkan mereka. Meskipun pasti akan sangat
sulit melupakan kekeliruan ini.
Sepulang
dari rumah sakit aku meminta Mas Faris mengantarku pulang ke rumah ibuku. Bukan
karena masih marah padanya dan Ibu, hanya ingin menenangkan perasaanku.
Sementara itu, Mas Faris akan menjalani pengobatan herbal di luar kota. Setiap
akhir pekan dia selalu menjengukku dan menginap di rumah.
Sebulan
kemudian, Mas Faris menjemputku. Dia juga sudah harus bekerja lagi. Saat akan
masuk ke mobil aku pusing dan mual. Mas Faris menyuruhku istirahat di rumah
beberapa hari lagi, tapi aku menolak aku sudah merindukan Ibu mertuaku. Di
perjalanan Mas Faris mengajakku ke Dokter kandungan. Awalnya aku sempat
pesimis, tapi setelah di periksa Dokter ternyata aku hamil. Aku seperti di
dalam mimpi, aku tidak sabar memberi tahu ke dua ibuku tentang ini.
Sampai
di rumah, aku merasakan kebahagiaan kedua. Ibu sudah menyambutku di depan
pintu, beliau sudah memakai gamis merah maroon dengan jilbab lebarnya padahal
sebelumnya dia hanya memakai ciput yang lebih mirip topi. Beliau mencium dan
memeluku erat. Saat aku memberitahu ibu tentang kehamilanku, beliau menangis
haru. Aku juga tak kuasa menahan bendungan air di mataku.
Hari
demi hari terajut menjadi minggu, minggu-minggu terangkai menjadi bulan. Bulan
demi bulan kulalui dengan penuh syukur dan sabar menanti kelahiran anakku ke dunia
ini. Ibu selalu membimbingku. Kalau dulu aku yang menjaga dan merawat Ibu, Sekarang
justru ibu yang merawatku. Mas Faris juga lebih banyak libur apalagi saat bulan
terakhir kehamilanku. Dia tidak mau melewatkan proses melahirkan anak pertama
kami.
Beberapa
hari kemudian aku melahirkan putra pertama kami. Dia mewarisi wajah tampan Mas
Faris, dan beberapa fenotip yang tampak dari genotipku. Kami berharap dia akan
tumbuh menjadi laki-laki yang Hukma Shabiyya Rabbi Radhiyya (Anak yang meiliki
hikmah dan diridhoi Alloh SWT sejak kecil), Amiin Yarobbal Alamin.
TAMAT
Lita Indri Dian L.
Ayooo kritiknya yaa...
Lita Indri Dian L.
Ayooo kritiknya yaa...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar