Pertanyaan.
Dalam kesempatan yang baik ini, kami ingin bertanya berkaitan dengan
masalah yang kami hadapi dengan jama’ah kami. Yaitu berkaitan dengan
pembacaan surat Yasin (Yasinan) di tempat orang yang meninggal dunia.
Jama’ah kami, saat ini sedang bimbang mengenai hal tersebut. Satu sisi
para da’i ada yang memperbolehkan Yasinan, sedangkan lainnya ada yang
melarang dan menyatakan bid’ah. Untuk itu kami ingin mengklarifikasikan
hal tersebut.
1. Apakah hukum dan dalilnya yang menyatakan Yasinan diperbolehkan?
2. Apakah hukum dan dalilnya yang menyatakan Yasinan dilarang dan bid’ah?
Demikianlah pertanyaan kami, semoga redaksi dapat memberikan jawaban
sehingga dapat menyatukan aqidah jama’ah kami. Atas jawaban dan
perhatian redaksi, kami ucapkan jazakumullahu khairan katsira.
Suhen
Jl. Domba Rt 28/16 Hadimulyo Barat, Metro Barat.
(Surat ke meja Redaksi tentang Yasinan, juga datang dari saudara
Budiman, Bekasi, yang meminta agar kami mengupas masalah pengajian
ibu-ibu pada setiap malam Jum’at, yang diisi dengan pembacaan Yasinan
(hafalan surat Yasin) secara berjama’ah dan suara keras.
Jawaban
Dalam dua surat di atas terdapat dua perbuatan yang masalahnya serupa:
yaitu Yasinan (pembacaan surat Yasin) di tempat orang yang meninggal
dunia, atau Yasinan (hafalan surat Yasin) setiap malam Jum’at. Hal itu
dilakukan dengan berjama’ah dan suara keras.
Sepanjang pengetahuan kami, orang-orang yang melakukan amalan seperti
itu menganggap hukumnya sebagai ibadah yang baik. Mereka menyebutkan
berbagai alasan, diantaranya :
1. Menurut mereka, hal itu termasuk ibadah membaca Al Qur’an. Mengapa membaca Al-Qur’an dilarang?
2. Hal itu termasuk berjama’ah membaca Al Qur’an yang sangat utama sebagaimana disebutkan di dalam hadits.
3. Daripada berkumpul di rumah orang kematian sekedar bermain kartu,
catur, atau lainnya, apalagi berjudi, lebih baik untuk membaca Al
Qur’an.
4. Surat Yasin memiliki banyak keutamaan; antara lain merupakan jantung
Al Qur’an, sehingga dipilih daripada surat-surat yang lain.
5. Berkumpul membaca surat Yasin tidak ada jeleknya.
DALIL YANG MELARANG
Adapun orang-orang yang melarang perbuatan di atas, juga membawa
berbagai dalil dan alasan. Mereka juga mendudukan perkara itu, dan
sekaligus membantah alasan kelompok pertama. Kelompok yang tidak
membolehkan acara di atas menyatakan:
1. Kitab suci Al Qur’an diturunkan oleh Allah sebagai petunjuk, rahmat,
cahaya, kabar gembira dan peringatan. Maka kewajiban orang-orang yang
beriman untuk membacanya, merenungkannya, memahaminya, mengimaninya,
mengamalkan, berhukum dengannya, mendakwahkannya, dan lainnya. Allah
Ta’ala berfirman:
وَهَذَا كِتَابٌ أَنزَلْنَاهُ مُبَارَكٌ فَاتَّبِعُوهُ وَاتَّقُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
Dan Al Qur'an itu adalah kitab yang Kami turunkan yang diberkati, maka
ikutilah dia dan bertaqwalah agar kamu diberi rahmat. [Al An’am:155].
Oleh karena itulah Allah mendorong hamba-hambaNya untuk membacanya dan merenungkannya dalam banyak ayat-ayatNya. Dia berfirman:
كِتَابٌ أَنزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِّيَدَّبَّرُوا ءَايَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُوْلُوا اْلأَلْبَابِ
Ini adalah sebuah kitab yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah
supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran
orang-orang yang mempunyai pikiran. [Shad:29]
Dan Allah mencela orang-orang yang berpaling dari Al Qur’an, tidak mau merenungkannya. Dia berfirman:
أَفَلاَ يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْءَانَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِندِ غَيْرِ اللهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلاَفاً كَثِيرًا
Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? Kalau kiranya Al Quran
itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang
banyak di dalamnya. [An Nisa’:82]
Inilah hikmah diturunkannya Al Qur’an, supaya ayat-ayatnya diperhatikan,
diilmui, dan supaya orang-orang yang mempunyai pikiran mendapat
pelajaran, yaitu supaya diamalkan. Adapun membacanya di rumah orang
kematian, atau ketika peringatan kematian, maka demikian itu merupakan
perbuatan yang tidak pernah disyari’atkan oleh agama Islam, tidak
diajarkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam , dan tidak
pernah diamalkan oleh para sahabat ataupun para ulama yang mengikuti
jalan mereka.
Orang-orang yang tidak menyetujui acara tersebut, bukan melarang membaca
Al Qur’annya, namun mereka melarang cara dan sifatnya yang tidak
diajarkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sehingga hal
itu termasuk perkara baru dalam agama, yang disebut bid’ah, dan seluruh
bid’ah itu sesat.
Memang membaca Al Qur’an merupakan ibadah mulia, memiliki berbagai
keutamaan, sebagaimana disebutkan di dalam banyak nash-nash agama. Di
antaranya, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan
umatnya untuk membaca Al Qur’an, karena Al Qur’an akan memohonkan
syafa’at bagi shahibul Qur’an (orang yang memahami dan mengamalkan Al
Qur’an).
عَنْ أَبِيْ أُمَامَةَ الْبَاهِلِيُّ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ اقْرَءُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ
يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَفِيعًا لِأَصْحَابِهِ اقْرَءُوا
الزَّهْرَاوَيْنِ الْبَقَرَةَ وَسُورَةَ آلِ عِمْرَانَ فَإِنَّهُمَا
تَأْتِيَانِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ كَأَنَّهُمَا غَمَامَتَانِ أَوْ
كَأَنَّهُمَا غَيَايَتَانِ أَوْ كَأَنَّهُمَا فِرْقَانِ مِنْ طَيْرٍ
صَوَافَّ تُحَاجَّانِ عَنْ أَصْحَابِهِمَا اقْرَءُوا سُورَةَ الْبَقَرَةِ
فَإِنَّ أَخْذَهَا بَرَكَةٌ وَتَرْكَهَا حَسْرَةٌ وَلَا تَسْتَطِيعُهَا
الْبَطَلَةُ قَالَ مُعَاوِيَةُ بَلَغَنِي أَنَّ الْبَطَلَةَ السَّحَرَةُ
Dari Abu Umamah Al Bahili, dia berkata: Aku mendengar Rasulullah
bersabda,”Bacalah Al Qur’an, karena sesungguhnya ia akan datang pada
hari kiamat sebagai pemohon syafa’at bagi ash-habul Qur’an (orang yang
mengamalkannya). Bacalah dua yang bercahaya, Al Baqarah dan surat Ali
Imran; sesungguhnya keduanya akan datang pada hari kiamat, seolah-olah
dua naungan atau seolah-olah keduanya dua kelompok burung yang berbaris.
Keduanya akan membela ash-habnya. Bacalah surat Al Baqarah, karena
sesungguhnya mengambilnya merupakan berkah, dan meninggalkannya
merupakan penyesalan. Dan Al Bathalah tidak akan mampu
(mengalahkan)nya.” Mu’awiyah berkata,”Sampai kepadaku, bahwa Al Bathalah
adalah tukang-tukang sihir.” [HR Muslim, no. 804]
Membaca Al Qur’an juga memiliki pahala yang besar.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنَ مَسْعُودٍ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ
فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا لَا أَقُولُ الم
حَرْفٌ وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلَامٌ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرْفٌ
Dari Abdullah bin Mas’ud, dia berkata, Rasulullah bersabda,”Barangsiapa
membaca satu huruf dari kitab Allah, maka dia mendapatkan satu kebaikan
dengannya. Dan satu kebaikan itu (dibalas) sepuluh lipatnya. Aku tidak
mengatakan alif lam mim satu huruf, tetapi alif satu huruf, lam satu
huruf, dan mim satu huruf.” [HR Tirmidzi no, 2910, dishahihkan Syaikh
Salim Al Hilali dalam Bahjatun Nazhirin 2/229].
Karena membaca Al Qur’an termasuk ibadah, sehingga agar ibadah itu
diterima oleh Allah dan berpahala, maka harus memenuhi dua syarat,
yaitu: ikhlas dan mengikuti Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam .
Kalaupun Yasinan (pembacaan surat Yasin) sebagaimana di atas dilakukan
dengan ikhlas, tetapi karena tidak diajarkan oleh Nabi Muhammad
Shallallahu 'alaihi wa salla dan tidak dilakukan para sahabatnya, maka
perbuatan tersebut tertolak.
2. Berkumpul untuk membaca Al Qur’an memang sangat utama, sebagaimana disebutkan di dalam hadits:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ …وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ
اللَّهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلَّا
نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ
وَحَفَّتْهُمُ الْمَلَائِكَةُ وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ
Dari Abu Hurairah, dia berkata, Rasulullah n bersabda,”Dan tidaklah
sekelompok orang berkumpul di dalam satu rumah di antara rumah-rumah
Allah, mereka membaca kitab Allah dan saling belajar di antara mereka,
kecuali ketenangan turun kepada mereka, rahmat meliputi mereka, malaikat
mengelilingi mereka, dan Allah menyebut-nyebut mereka di kalangan (para
malaikat) di hadapanNya.” [HR Muslim no. 2699; Abu Dawud no. 3643;
Tirmidzi no. 2646; Ibnu Majah no. 225 dan lainnya].
Hadits di atas nyata menunjukkan, bahwa berkumpul untuk membaca dan
mempelajari Al Qur’an merupakan ibadah yang sangat mulia. Namun
bagaimanakah bentuk atau cara yang sesuai dengan Sunnah Nabi? Karena,
jika amalan itu tidak sesuai dengan Sunnah, ia akan tertolak.
Berikut ini kami jelaskan bentuk-bentuk berjama’ah dalam membaca Al Qur’an, sebagaimana disebutkan para ulama:
- Satu orang membaca, yang lain mendengarkan.
Disebutkan dalam hadits di bawah ini:
عَنْ عَبْدِاللَّهِ قَالَ لِي النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ اقْرَأْ عَلَيَّ قُلْتُ آقْرَأُ عَلَيْكَ وَعَلَيْكَ أُنْزِلَ
قَالَ فَإِنِّي أُحِبُّ أَنْ أَسْمَعَهُ مِنْ غَيْرِي فَقَرَأْتُ عَلَيْهِ
سُورَةَ النِّسَاءِ حَتَّى بَلَغْتُ ( فَكَيْفَ إِذَا جِئْنَا مِنْ كُلِّ
أُمَّةٍ بِشَهِيدٍ وَجِئْنَا بِكَ عَلَى هَؤُلَاءِ شَهِيدًا ) قَالَ
أَمْسِكْ فَإِذَا عَيْنَاهُ تَذْرِفَانِ
Dari Abdullah, dia berkata, Nabi bersabda kepadaku,”Bacakanlah (Al
Qur’an) kepadaku!” Aku menjawab,”Apakah aku akan membacakan kepada anda,
sedangkan Al Qur’an diturunkan kepada anda?” Beliau
menjawab,”Sesungguhnya, aku suka mendengarkannya dari selainku,” maka
aku membacakan kepada beliau surat An Nisa’, sehingga aku sampai (pada
ayat):
فَكَيْفَ إِذَا جِئْنَا مِنْ كُلِّ أُمَّةٍ بِشَهِيدٍ وَجِئْنَا بِكَ عَلَى هَؤُلَاءِ شَهِيدً
Maka bagaimanakah (halnya orang-orang kafir nanti), apabila kami
mendatangkan seseorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami
mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai
umatmu). (An Nisa’: 41). (Kemudian) Beliau bersabda,”Berhentilah!”
Ternyata kedua mata beliau meneteskan air mata.” [HR Bukhari no. 4582;
Muslim no. 800; dll]
Imam Malik berkata,”Seandainya seseorang membaca, yang lain menyimak,
atau seseorang membaca setelah yang lain, aku tidak menganggapnya
berbahaya (yakni terlarang).” [Kitab Al Hawadits Wal Bida’, hlm. 162].
Syaikh Dr. Muhammad Musa Nashr berkata,”Berkumpul untuk membaca Al
Qur’an yang sesuai dengan Sunnah Nabi dan perbuatan Salafush Shalih,
adalah satu orang membaca dan yang lainnya mendengarkan. Barangsiapa
mendapatkan keraguan pada makna ayat, dia meminta qari’ untuk berhenti,
dan orang yang ahli berbicara (menjelaskan) tentang tafsirnya, sehingga
tafsir ayat itu menjadi jelas dan terang bagi para hadirin… Kemudian,
qari’ mulai membaca lagi. [Kitab Al Bahts Wal Istiqra’ Fii Bida’il
Qurra’, hlm. 50-51].
- Membaca bergantian.
Imam Malik berkata,”Hendaklah orang itu membaca, dan (setelah selesai) yang lain (ganti) membaca. Allah berfirman:
وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْءَانُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأْنصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
Dan apabila dibacakan Al Qur'an, maka dengarkanlah baik-baik dan
perhatikanlah dengan tenang, agar kamu mendapat rahmat. (Al A’raf: 204).
[Kitab Al Hawadits Wal Bida’, hlm. 95, 162].”
Beliau juga berkata,”Seandainya seseorang dari mereka membaca beberapa
ayat, kemudian orang lain membaca setelah temannya, berikutnya membaca
setelah temannya; yang demikian itu tidak mengapa, mereka saling
memperdengarkan kepada yang lain.” [Idem hlm. 162].
- Dibuat beberapa kelompok, setiap kelompok dibimbing oleh qari’.
Imam Malik ditanya tentang para qari’ Mesir, yang orang banyak berkumpul
kepada mereka, lalu tiap-tiap qari’ membacakan (Al Qur’an) kepada
sekelompok orang dan membimbing mereka? Beliau menjawab,”Itu bagus,
tidak mengapa.” [Al Muntaqa, 1/345 karya Al Baji, dinukil dari Kitab Al
Hawadits Wal Bida’, hlm. 161].
Selain berjama’ah membaca Al Qur’an dengan cara yang benar sebagaimana
di atas, juga ada cara yang tidak benar, seperti di bawah ini:
- Imam Malik bin Anas berkata,”Tidak boleh sekelompok orang berkumpul
membaca satu surat (bersama-sama), seperti yang dilakukan penduduk
Iskandariyah. (Demikian)ini dibenci, tidak menyenangkan kami.” [Kitab Al
Hawadits Wal Bida’, hlm. 161].
Beliau juga mengatakan,”(Yang seperti) ini bukan perbuatan orang-orang (Salaf).” [Kitab Al Hawadits Wal Bida’, hlm. 95, 162].
Yang dikatakan oleh Imam Malik di atas, persis acara Yasinan yang banyak dilakukan oleh sebagian umat Islam di Indonesia.
Adapun membaca Al Qur’an bersama-sama dengan satu suara secara keras,
ini bertentangan dengan ayat 204 surat Al A’raf, sebagaimana di atas.
Allah memerintahkan, jika Al Qur’an dibacakan, kita wajib diam dan
mendengarkan, juga merenungkan apa yang dibaca. Jika semua yang hadir
membaca bersama-sama, siapa yang akan mendengarkan? Bisakah orang
merenungkan?
- Imam Abu Bakar Muhammad bin Al Walid Ath Thurthusi rahimahullah (wafat
530 H ) berkata,”Adapun sekelompok orang berkumpul di masjid atau
lainnya, kemudian seseorang yang bersuara indah membaca (Al Qur’an)
untuk mereka, maka ini terlarang! Hal itu dikatakan oleh Imam Malik.
Karena membaca Al Qur’an disyari’atkan dalam bentuk ibadah, dan
menyendiri dengannya lebih utama. Sesungguhnya, tujuan itu (yakni
berkumpul dan mendengarkan bacaan indah seseorang) hanyalah mencari
perhatian, (mencari) makan dengannya saja, dan termasuk satu jenis
meminta-minta dengan Al Qur’an. Dan ini termasuk perkara yang Al Qur’an
wajib disucikan darinya.” [Kitab Al Hawadits Wal Bida’, hlm. 96].
Syaikh Ali bin Hasan Al Halabi menambahkan perkataan di atas dengan
mengatakan,”Sebagaimana terjadi pada acara-acara resmi dan keagamaan
–menurut sangkaan mereka- di banyak masjid!”
3. Adapun perkataan mereka “Daripada berkumpul di rumah orang kematian
sekedar bermain kartu, catur, atau lainnya, apalagi berjudi, lebih baik
untuk membaca Al Qur’an”, maka ditinjau dari beberapa sisi, pendapat
seperti ini tidak dapat diterima. Mengapa?
- Berkumpul di rumah orang kematian setelah penguburan mayit,
sebagaimana banyak dilakukan orang, termasuk perbuatan niyahah (meratapi
mayit) yang terlarang, memperbarui kesedihan, dan membebani keluarga
mayit.
Imam Syafi’i rahimahullah berkata di dalam kitab Al Umm 1/248,”Aku
membenci berkumpul dalam kesusahan, yaitu berjama’ah, walaupun mereka
tidak menangis; karena hal itu akan memperbarui kesedihan, membebani
biaya, bersamaan dengan riwayat yang telah lalu tentang hal ini.”
Kemungkinan, riwayat yang dimaksudkan oleh Imam Syafi’i tersebut ialah riwayat dari Jarir bin Abdullah Al Bajali, dia berkata,
كُنَّا نَعُدُّ الِاجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنِيعَةَ الطَّعَامِ بَعْدَ دَفْنِهِ مِنَ النِّيَاحَةِ
Kami (para sahabat) memandang berkumpul kepada keluarga mayit dan
pembuatan makanan setelah penguburannya termasuk meratap. [HR Ahmad dan
ini lafazhnya; dan Ibnu Majah; dishahihkan oleh An Nawawi, Al Bushiri,
dan Al Albani. Lihat Ahkamul Janaiz, hlm. 167].
Dan hal itu termasuk bid’ah, sebagaimana dikatakan oleh sebagian ulama. [Lihat Ahkamul Janaiz, hlm. 167].
- Sebagian ulama menyatakan, hukum bermain kartu dan catur, walaupun
tanpa perjudian itu terlarang, sehingga termasuk maksiat. Adapun
berkumpul di rumah orang kematian untuk membaca Al Qur’an hukumnya
bid’ah.
Imam Sufyan Ats Tsauri rahimahullah berkata,”Bid’ah lebih dicintai oleh
Iblis daripada maksiat. Orang terkadang bertaubat dari maksiat, tetapi
seseorang sulit bertaubat dari bid’ah.” (Riwayat Al Lalikai, Al Baghawi,
dan lainnya).
Pelaku bid’ah menganggap bid’ahnya sebagai ibadah dan kebaikan. Maka, bagaimana dia diminta untuk bertaubat darinya?!
4. Alasan mereka “Surat Yasin memiliki banyak keutamaan, antara lain
merupakan jantung Al Qur’an, sehingga dipilih daripada surat-surat yang
lain”.
Jawaban kami: Banyak ulama menyatakan, bahwa hadits-hadits yang
menyebutkan fadhilah-fadhilah surat Yasin tidak ada yang shahih.
Seandainya hadits-hadits itu shahih, bukan berarti boleh
mengkhususkannya untuk dibaca pada waktu tertentu (seperti setelah
kematian atau setiap malam Jum’at). Karena mengkhususkan waktu-waktu
ibadah, merupakan hak pembuat syari’at, yaitu merupakan hak Allah Ta’ala
semata.
5. Adapun perkataan mereka, bahwa berkumpul membaca surat Yasin tidak ada jeleknya.
Jawaban kami: Kebiasaan berkumpul membaca surat Yasin berjama’ah dengan
suara keras pada waktu-waktu tertentu, mengandung banyak kejelekan dan
keburukan. Antara lain:
- Membaca Al Qur’an berjama’ah dengan suara keras bertentangan dengan firman Allah:
وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْءَانُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأْنصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
Dan apabila dibacakan Al Qur'an, maka dengarkanlah baik-baik, dan
perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat. [Al A’raf: 204].
Sebagaimana penjelasan Imam Malik yang telah kami nukil di atas.
- Hal itu juga bertentangan dengan metode Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam dan para sahabat ketika secara berjama’ah membaca Al Qur’an.
Yaitu, satu orang membaca dan yang lainnya diam, mendengarkan dan
merenungkan isinya, sebagaimana telah kami sebutkan di atas.
- Mengkhususkan membaca surat Yasin, tanpa surat-surat yang lain juga
merupakan bid’ah dhalalah (yang sesat). Hal ini termasuk bid’ah
idhafiyah, yaitu bid’ah yang pada asalnya ada dalil, namun sifatnya
tidak ada dalil. Membaca Al Qur’an ada dalilnya, tetapi mengkhususkan
surat Yasin pada waktu-waktu tertentu tidak ada dalilnya.
Tentang seluruh bid’ah merupakan kesesatan, dan tidak ada bid’ah hasanah
di dalam agama. Lihat Majalah As Sunnah, Edisi 02/Tahun V/1421H/2001M.
- Mengkhususkan waktu tertentu untuk membaca surat Yasin, seperti
setelah kematian atau setiap malam Jum’at, juga merupakan bid’ah
dhalalah sebagaimana point sebelumnya.
- Membaca Al Qur’an bersama-sama dengan satu suara dan keras, memiliki berbagai keburukan.
Syaikh Dr. Muhammad Musa Nashr menyatakan, membaca Al Qur’an dengan satu
suara merupakan bid’ah yang buruk dan memuat banyak kerusakan:
1. Hal ini merupakan perkara baru.
2. Mereka tidak saling mendengarkan bacaan Al Qur’an, bahkan saling mengeraskan, sedangkan Nabi melarang dari hal ini.
3. Seorang qari’ terpaksa berhenti untuk bernafas, sedangkan orang-orang
lain meneruskan bacaan, sehingga dia kehilangan beberapa kata saat
bernafas, maka ini tidak diragukan lagi keharamannya.
4. Seseorang bernafas pada mad muttashil seperti: جَاءَ , شَاءَ ,
أَنْبِيَاءَ sehingga dia memutus satu kata menjadi dua bagian. Ini
merupakan perkara yang haram dan keluar dari adab qira’ah.
5. Menyerupai ibadah Ahli Kitab ibadah di dalam gereja mereka. [Kitab Al Bahts Wal Istiqra’ Fi Bida’il Qurra’, hlm. 51-52].
Kalau kita sudah mengetahui, bahwa hal itu termasuk bid’ah, maka sesungguhnya kejelekan bid’ah itu sangat banyak. Antara lain:
- Seluruh bid’ah sesat.
- Kesesatan itu membawa ke neraka.
- Amalan bid’ah tertolak
- Bid’ah termasuk perbuatan yang melewati batas.
- Menganggap baik terhadap bid’ah, berarti menganggap agama Islam belum
sempurna. Padahal Allah telah memberitakan kesempurnaan agama ini.
apakah mereka mengingkarinya?
- Bid’ah menyebabkan perpecahan.
- Pelaku bid’ah, semakin lama kian jauh dari Allah.
- Penyeru bid’ah menanggung dosa orang-orang yang mengikutinya sampai kari kiamat.
- Pelaku bid’ah menentang agama.
- Pelaku bid’ah menempatkan dirinya sebagai “pembuat syari’at”.
- Pelaku bid’ah akan diusir dari telaga Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
- Pelaku bid’ah dilaknat oleh Allah. [Lihat Mabhats Majalah As Sunnah,
Edisi 02/Tahun V/1421H/2001M] Dan kejelekan-kejelekan lainnya yang
diketahui oleh Allah Ta’ala.
Inilah sedikit jawaban dari kami. Semoga dapat menghilangkan kebimbangan orang dalam masalah ini.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun VII/1423H/2003M. Penerbit
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
sumber :
http://almanhaj.or.id/content/1298/slash/0/yasinan/